Pengalaman Naik ke Atas Puncak Jam Gadang, Ada Apa di Dalamnya?

Pengalaman Naik ke Atas Puncak Jam Gadang, Ada Apa di Dalamnya?

Berkunjung ke Kota Bukittingi di Sumatera Barat, tidak lengkap rasanya jika belum mengunjungi Jam Gadang.

Jam Gadang adalah tempat wisata berbentuk menara jam yang berada di pusat kota Bukittinggi, dengan dikelilingi taman tempat masyarakat biasa berkumpul.

Sesuai bentuknya yang memiliki jam besar di empat sisi, Jam Gadang berasal dari bahasa Minangkabau yang berarti “jam besar”.

Lokasi tepat bangunan ikonik ini adalah di Jalan Istana Kelurahan Bukit Cangang, Kecamatan Guguk Panjang, Kota Bukittinggi.

Sejarah Jam Gadang

Konon, Jam Gadang merupakan hadiah dari Ratu Belanda untuk Rook Maker, sekretaris Fort de Kock atau sebutan bagi Kota Bukittinggi saat itu.

Pada puncaknya, menara Jam Gadang memiliki empat buah jam berukuran besar yang diameter masing-masing mencapai 80 sentimeter. Jam-jam raksasa itu katanya didatangkan langsung dari Rotterdam, Belanda, melalui Pelabuhan Teluk Bayur.

Arsitektur menara Jam Gadang dirancang oleh Yazid Rajo Mangkuto dan Rasid Sutan Gigi Ameh, yang selesai dibangun pada tahun 1926.

Sementara itu, total biaya pembangunan Jam Gadang sendiri mencapai 3.000 gulden. Jika dirupiahkan saat ini, sekitar Rp 24,6 juta.

Pengalaman naik ke puncak menara Jam Gadang

bersama rombongan kegiatan “Perjalanan Wisata Pengenalan Destinasi Prioritas Pasar Domestik/Nusantara”, program kerja sama Kemenparekraf dengan maskapai Garuda Indonesia, berkesempatan mengunjungi Jam Gadang dan naik ke puncaknya, Selasa (02/08/2022).

Dari luar, tampak bangunan Jam Gadang terlihat ciamik. Bagian dalam menara memiliki tinggi sekitar 26 meter, yang terdiri dari empat tingkat, sebelum lantai puncak.

Menara yang dibangun tanpa menggunakan besi peyangga dan adukan semen ini hanya memanfaatkan campuran bahan kapur, putih telur, dan pasir putih.

Oleh sebab itu, bagian dalam Jam Gadang tidak dibuka untuk umum demi menjaga kelestarian bangunan yang dulu menggunakan bahan-bahan tradisional.

Untuk menaikinya, pengunjung membutuhkan surat izin khusus dari dinas setempat dan terbatas untuk keperluan tertentu.

Pengunjung yang naik pun dibatasi hanya empat orang, untuk memastikan tidak menambah beban dan merusak kualitas bangunan.

Dari dua tangga awal, Kompas.com naik menuju tangga sebelah kanan, kemudian memasuki lantai pertama. Pada lantai pertama, terdapat meja dan kursi yang sepertinya digunakan untuk tempat duduk pengelola.

Terlihat tangga berwarna abu-abu yang tidak terlalu luas dan cukup curam, sehingga nampaknya memang ditujukan untuk satu orang saja setiap ada yang naik atau turun.

Masing-masing lantai di tiap tingkatan juga hanya diisi oleh tangga. Adapun waktu untuk menaiki tangga di beberapa tingkatan menara untuk mencapai puncak, diperkirakan kurang lebih lima menit.

Pada lantai keempat, persis di bawah puncak menara jam Gadang, terdapat mesin yang konon hanya ada dua di dunia. Mesin satu ada di Big Ben yang menjadi ikon Kota London, dan satu lagi di Jam Gadang.

Naik satu tangga menuju bagian lonceng, terdapat keterangan pabrik pembuat jam pada lonceng tersebut, yaitu Vortmann Relinghausen.

Vortmann adalah nama belakang pembuat jam, yaitu Benhard Vortmann, sedangkan Relinghausen adalah nama kota di Jerman.

Setelah menemukan lonceng, Kompas.com keluar menuju area balkon puncak Jam Gadang. Angin sejuk yang semilir terasa menyegarkan, ditambah pemandangan kota Bukittinggi dari ketinggian sekitar 20 meter.

Di atas, terlihat pemandangan panorama kota yang indah, mulai dari Plaza Bukittinggi, Pasar Atas Bukittinggi, aneka pertokoan, jalanan yang ramai, sampai gunung Singgalang dan Marapi.

Perubahan atap menara Jam Gadang

Sejak awal dibangun, Menara Jam Gadang mengalami setidaknya tiga kali perubahan dan penyesuaian, tepatnya pada bagian atap.

Awal didirikan pada masa pemerintahan Hindia Belanda, atap Jam Gadang berbentuk bulat dengan patung ayam jantan menghadap ke arah timur di atasnya. Lalu, atap Jam Gadang diubah pada masa pendudukan Jepang, menjadi bentuk pagoda.

Perubahan ketiga yaitu setelah kemerdekaan, atap pada Jam Gadang diubah menjadi bentuk gonjong atau atap pada rumah adat Minangkabau, Rumah Gadang.

Tidak dibuka untuk umum

Meski tidak dibuka untuk umum, tidak perlu bersedih hati. Sebab, pengunjung masih bisa menikmati keindahan Jam Gadang dan panorama sekitarnya dengan berada di area taman pedestrian.

Setelah puas berfoto-foto dengan latar belakang Jam Gadang, pengunjung bebas bersantai dan merasakan sensasi taman modern di Taman Pedestrian di kawasan ini.

Selain bunga-bunga dan taman yang tertata dengan cantik, ada beragam kuliner berupa kerupuk mie dan jajanan pasar yang lain.

Taman modern ini juga semakin apik saat malam hari, karena terdapat Air Mancur Menari, gemericik taman air terjun, dan spot-spot menarik lainnya.

Lokasi Jam Gadang yang dekat dari Pasar Atas, juga memudahkan pengunjung berbelanja oleh-oleh khas Jam Gadang seperti pakaian, kain, tas, sampai gantungan kunci.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours